“...Soeharto adalah seorang ahli strategi yang handal. Tetapi ia bukan seorang ‘grand master’ yang mampu menghitung 10-15 langkah ke depan di papan catur. Ia lebih banyak beruntung karena piawai memanfaatkan kesempatan...”(Dr. Asvi Warman Adam)
Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Pemberontakan Sebelas Maret ?
Apakah benar “Supersemar” versi Orde Baru tak lagi “Super” sehingga kita berhak menuntutnya? Di sinilah kontroversi seputar Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 seakan tidak pernah ada habisnya dibicarakan. Banyak yang menggugat bahwa Supersemar yang ditandangani oleh presiden Soekarno pada dini hari tersebut sebenarnya adalah surat mandat yang diberikan kepada Soeharto untuk mengamankan keadaan negara yang sedang gawat. Memang pada waktu itu kondisi sosial-politik sedang kacau balau pasca pemberontakan G30 S/PKI. Karena itu, seharusnya Soeharto menyerahkan kembali mandat tersebut kepada presiden Soekarno setelah selesai menjalankan tugas.
Namun yang terjadi justru tidak demikian. Skenario untuk menjatuhkan presiden Soekarno ternyata sudah direncanakan matang-matang. Des Alwi – mantan anggota Dewan Banteng pencetus PRRI yang juga dianggap sebagai gerakan separatis – adalah tokoh di balik layar yang berperan penting dalam peristiwa tersebut. Ia tidak hanya lihai dalam melakukan rekayasa penandatanganan Supersemar. Akan tetapi kepandaiannya dalam mempengaruhi MPR/DPR untuk mengangkat Soeharto sebagai presiden RI dengan menggunakan mandat yang disalahgunakan tersebut, merupakan “strategi jitu” yang terbukti “keampuhannya” dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Penandatangan Supersemar menurut pengakuan Soekardjo Wilardjito SMiss, mantan pengawal Soekarno, bahkan sempat diwarnai oleh penodongan pistol terhadap presiden Soekarno. Pendapat ini sekaligus menguatkan kebenaran suatu pendapat menyangkut pembuatan Supersemar yang tidak lain bukanlah atas inisiatif dan kemauan presiden Soekarno sendiri. Akan tetapi merupakan kehendak Soeharto yang berkeinginan kuat menduduki tampuk kekuasaan. Karena itu, tidak heran kalau kemudian Soeharto mengambil jalan pintas dengan memaksa presiden Soekarno turun takhta.
Periode kelam inilah yang oleh Asvi Warman Adam (2007) disebut sebagai “Kudeta Merangkak ala Soeharto.” Soeharto menjadi presiden RI melalui suatu proses yang sama sekali tidak bisa dinalar: Suatu proses yang diawali dengan (percobaan) kudeta 1 Oktober 1965 dan diakhiri dengan keluarnya Supersemar yang secara de facto memberikan kekuasaan kepada Mayjend Soeharto. Karena itu, 32 tahun kepemimpinan Soeharto menjadi tidak absah mengingat Supersemar yang dijadikan sebagai legitimasi tidak lain adalah “Supersemar” yang tidak lagi “Super.”
Kudeta Merangkak ala Soeharto
Dengan demikian, sampai saat ini kita tetap menyangsikan ihwal kebenaran dan keaslian Supersemar yang masih misterius itu. Banyak pengamat sejarah yang meyakini bahwa Supersemar yang asli itu masih ada. Adapun Supersemar versi Orde baru yang kemudian dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan Soeharto bukanlah Supersemar yang asli sebagaimana yang ditandatangani oleh presiden Soekarno. Di sinilah, sekali lagi, muncul kontroversi yang tak kunjung usai: apakah benar presiden Soekarno yang menyusun surat itu sehingga seolah-olah Soeharto mendapatkan tugas untuk mengamankan keadaan? Kalau memang benar bagaimana proses penyerahannya?
Menurut penuturan Wilardjito – sosok yang sempat dituduh oleh Polda DIY menyebarkan berita bohong ihwal kesaksiannya tentang peristiwa Supersemar – awalnya Soekarno didatangi empat Jenderal, Amir Machmud, Basuki Rahmat, M Yusuf dan M Panggabean. Mereka datang ke istana Bogor untuk menemui presiden Soekarno. Setelah presiden menemui keempat Jenderal itu dan bertanya ihwal kedatangannya, mereka menyodorkan map yang berisi diktum militer, bukan diktum kepresidenan, untuk segera ditandangani. Bahkan M. Yusuf mencabut pistol FN 46, yang juga diikuti oleh Panggabean agar presiden mau menandatangani diktum tersebut.
Melihat kondisi presiden yang terancam bahaya, Wilardjito sebenarnya juga mencabut pistol, namun oleh Soekarno dilarang karena dia tidak suka ada pertumpahan darah. Akhirnya, presiden menandatangani diktum militer tersebut. Wilardjito mengaku tidak tahu pulpen siapa yang dipakai untuk menandatanganinya, dan dia juga tidak tahu surat apa yang diberikan Yusuf kepada Soekarno. Menurutnya, sebelum Soekarno menandatangani, dia sempat berkata terpaksa menyerahkan mandat kepada Soeharto, tapi kalau situasinya sudah kembali pulih, mandatnya harus dikembalikan kepadanya lagi.
Setelah peristiwa penandatanganan yang menurutnya tidak lebih dari 15 menit tersebut, Soekarno bilang akan pergi dan berpesan agar dia berhati- hati, lalu Soekarno masuk kamar tidur. Setelah itu Wilardjito pergi kebelakang untuk mencari anggotanya, tapi keburu ditangkap oleh satu peleton pasukan tentara berseragam loreng dan berbaret merah, tanpa tanda pengenal. Bersama dengan 12 orang lainnya, dia digiring ke sebuah truk, lalu dilucuti dan dibawa ke Jakarta dan dimasukkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Budi Utomo. Setelah berada dipenjara dia mengaku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya di Istana Jakarta dan Bogor. Setelah ditahan lebih dari enam bulan, dia baru diinterogasi Teperda Jaya, oleh seorang CPM berpangkat Mayor yang namanya tidak diingatnya lagi.
Dalam interogasi tersebut, dia didakwa sebagai komplotannya Kol Maulwi Saelan seorang Ajpri (Ajudan Pribadi), yang dijawabnya bukan. Ditanya apakah yang menempatkanya Aidit, dia menjawab tidak kenal Aidit. Ditanya siapa yang menempatkannya di istana, dia menjawab Wakasad Gatot Subroto, tapi justru dia dimarahi karena mengutik-utik orang yang sudah mati. Selain itu dia dituduh PKI karena berani menodong jenderal ketika menghadap Presiden. Setelah tiga tahun dipenjara dia baru memperoleh kabar bahwa yang membuat Supersemar adalah Ali Murtopo dan Alamsyah yang kemudian oleh Soeharto diangkat menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Agama.
Merujuk fakta sejarah inilah, keterlibatan Soeharto sebagai aktor utama dalam merekayasa Supersemar harus kita gugat. Sebab Soeharto telah menjadikan Supersemar itu sebagai “Surat Pemberontakan Sebelas Maret” atas keabsahan Soekarno sebagai presiden.
“The Living Legend”
Keberhasilan Soeharto dalam memalsukan otentisitas Supersemar menempatkan dirinya sebagai “The Living Legend” yang diagung-agungkan sepanjang sejarah Orde Baru. Seolah-olah pergantian kekuasaan adalah murni berangkat dari inisiatif presiden Soekarno sendiri. Padahal setelah kepalsuan sejarah itu terbongkar, Soekarno pada awalnya sama sekali tidak menduga bahwa Supersemar yang ditandanganinya itu ternyata disalahgunakan oleh Soeharto dan dijadikan sebagai alat delegitimasi untuk meruntuhkan kekuasaan Orde lama.
Di sinilah kita melihat sosok Soeharto sebagai aktor di balik terjadinya peristiwa-peristiwa bersejarah yang telah dibengkokkan sedemikian rupa, termasuk di dalamnya adalah peristiwa Supersemar yang kontroversial itu. perisriwa Supersemar menurut saya tak ubahnya suatu “pertarungan sejarah” yang senantiasa menghasilkan kekalahan dan kemenangan. Dalam konteks ini, Soeharto adalah salah satu pihak yang keluar sebagai pemenang (juara) dan berhak mendapatkan gelar sebagai “The Living Legend.” Sedangkan Soekarno hanya kurang beruntung karena sejatinya ia “kalah” dalam sebuah pertarungan yang diwarnai dengan kecurangan.
Kejeniusan Soeharto dalam upayanya menggulingkan presiden Soekarno sebenarnya hanya terletak pada kepiawaiannya dalam memanfaatkan sekecil apa pun setiap kesempatan. Instabilitas sosial-politik pascaserangan G30S/PKI, misalnya, dijadikan sebagai kesempatan emas untuk memaksa presiden Soekarno membuat dan menandatangani Supersemar sebagai surat mandat. Tetapi “keterpaksaan” presiden Soekarno dalam konteks ini bukan menunjukkan betapa ia sangat lemah, tidak pandai, dan kerdil dalam menghadapi serangan dari musuh yang tidak lain adalah anak buahnya sendiri. Sebab posisi Soekarno pada waktu itu benar-benar tertekan, ditodong, dan berada dalam kondisi “keterkepungan” yang memang sudah direkayasa sebelumnya.
Di situlah sebenarnya “kelebihan” Soeharto dalam memanfaatkan setiap kesempatan yang menurutnya sangat berarti dalam proyek jangka panjang: membangun imperium otoritarianisme berkedok demokrasi. “Kesuksesan” Soeharto selama 32 tahun memimpin negeri ini diawali dengan pertumpahan darah yang berlangsung pada 1 Oktober 1965 - 11 Maret 1966. Melalui kedua peristiwa yang dilalui dengan “mudah” itulah Soeharto menempatkan dirinya sebagai sosok pejuang. Ia membangun image sebagai pemberontak PKI, aktor utama di balik serangan umum 1 Maret 1949, dan lain sebagainya. Bahkan melalui media massa, Soeharto melakukan indoktrinasi massal untuk menunjukkan kegigihannya. Sehingga rakyat pun tanpa sadar menyebutnya sebagai “The Living Legend” atas peranannya dalam peristiwa-peristiwa penting.
Dr. Asvi Warman Adam dalam Seabad Kontroversi Sejarah (2007), mengatakan: “Kalau diperhatikan periode 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 tampak perkembangan peristiwa yang demikian cepat dan luar biasa. Soeharto adalah seorang ahli strategi yang handal. Tetapi ia bukan seorang grand master yang mampu menghitung 10-15 langkah ke depan di papan catur. Ia lebih banyak beruntung karena piawai memanfaatkan kesempatan. Bisa saja periode 6 bulan setelah peristiwa 1 Oktober 1965 itu disebut sebagai ”Kudeta Merangkak.” Tetapi ini adalah sebah drama tanpa sutradara dan skenario yang ketat. Soeharto bukan dalang melainkan pemain yang mampu berimprovisasi.
Demikianlah menurut penilaian Dr. Asvi Warman Adam. Soeharto sebenarnya lebih banyak tertolong oleh keberuntungan dan keberuntungan. Namun sayang, keberuntungan ternyata tidak selamanya datang dan berpihak. Kasus penyalahgunaan Supersemar akhirnya terbongkar seiring runtuhnya Soeharto dengan Orde Barunya. Soeharto kesusahan mencari perlindungan karena tidak mungkin mengelak dari fakta sejarah yang sesungguhnya.
Melihat kondisi presiden yang terancam bahaya, Wilardjito sebenarnya juga mencabut pistol, namun oleh Soekarno dilarang karena dia tidak suka ada pertumpahan darah. Akhirnya, presiden menandatangani diktum militer tersebut. Wilardjito mengaku tidak tahu pulpen siapa yang dipakai untuk menandatanganinya, dan dia juga tidak tahu surat apa yang diberikan Yusuf kepada Soekarno. Menurutnya, sebelum Soekarno menandatangani, dia sempat berkata terpaksa menyerahkan mandat kepada Soeharto, tapi kalau situasinya sudah kembali pulih, mandatnya harus dikembalikan kepadanya lagi.
Setelah peristiwa penandatanganan yang menurutnya tidak lebih dari 15 menit tersebut, Soekarno bilang akan pergi dan berpesan agar dia berhati- hati, lalu Soekarno masuk kamar tidur. Setelah itu Wilardjito pergi kebelakang untuk mencari anggotanya, tapi keburu ditangkap oleh satu peleton pasukan tentara berseragam loreng dan berbaret merah, tanpa tanda pengenal. Bersama dengan 12 orang lainnya, dia digiring ke sebuah truk, lalu dilucuti dan dibawa ke Jakarta dan dimasukkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Budi Utomo. Setelah berada dipenjara dia mengaku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya di Istana Jakarta dan Bogor. Setelah ditahan lebih dari enam bulan, dia baru diinterogasi Teperda Jaya, oleh seorang CPM berpangkat Mayor yang namanya tidak diingatnya lagi.
Dalam interogasi tersebut, dia didakwa sebagai komplotannya Kol Maulwi Saelan seorang Ajpri (Ajudan Pribadi), yang dijawabnya bukan. Ditanya apakah yang menempatkanya Aidit, dia menjawab tidak kenal Aidit. Ditanya siapa yang menempatkannya di istana, dia menjawab Wakasad Gatot Subroto, tapi justru dia dimarahi karena mengutik-utik orang yang sudah mati. Selain itu dia dituduh PKI karena berani menodong jenderal ketika menghadap Presiden. Setelah tiga tahun dipenjara dia baru memperoleh kabar bahwa yang membuat Supersemar adalah Ali Murtopo dan Alamsyah yang kemudian oleh Soeharto diangkat menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Agama.
Merujuk fakta sejarah inilah, keterlibatan Soeharto sebagai aktor utama dalam merekayasa Supersemar harus kita gugat. Sebab Soeharto telah menjadikan Supersemar itu sebagai “Surat Pemberontakan Sebelas Maret” atas keabsahan Soekarno sebagai presiden.
“The Living Legend”
Keberhasilan Soeharto dalam memalsukan otentisitas Supersemar menempatkan dirinya sebagai “The Living Legend” yang diagung-agungkan sepanjang sejarah Orde Baru. Seolah-olah pergantian kekuasaan adalah murni berangkat dari inisiatif presiden Soekarno sendiri. Padahal setelah kepalsuan sejarah itu terbongkar, Soekarno pada awalnya sama sekali tidak menduga bahwa Supersemar yang ditandanganinya itu ternyata disalahgunakan oleh Soeharto dan dijadikan sebagai alat delegitimasi untuk meruntuhkan kekuasaan Orde lama.
Di sinilah kita melihat sosok Soeharto sebagai aktor di balik terjadinya peristiwa-peristiwa bersejarah yang telah dibengkokkan sedemikian rupa, termasuk di dalamnya adalah peristiwa Supersemar yang kontroversial itu. perisriwa Supersemar menurut saya tak ubahnya suatu “pertarungan sejarah” yang senantiasa menghasilkan kekalahan dan kemenangan. Dalam konteks ini, Soeharto adalah salah satu pihak yang keluar sebagai pemenang (juara) dan berhak mendapatkan gelar sebagai “The Living Legend.” Sedangkan Soekarno hanya kurang beruntung karena sejatinya ia “kalah” dalam sebuah pertarungan yang diwarnai dengan kecurangan.
Kejeniusan Soeharto dalam upayanya menggulingkan presiden Soekarno sebenarnya hanya terletak pada kepiawaiannya dalam memanfaatkan sekecil apa pun setiap kesempatan. Instabilitas sosial-politik pascaserangan G30S/PKI, misalnya, dijadikan sebagai kesempatan emas untuk memaksa presiden Soekarno membuat dan menandatangani Supersemar sebagai surat mandat. Tetapi “keterpaksaan” presiden Soekarno dalam konteks ini bukan menunjukkan betapa ia sangat lemah, tidak pandai, dan kerdil dalam menghadapi serangan dari musuh yang tidak lain adalah anak buahnya sendiri. Sebab posisi Soekarno pada waktu itu benar-benar tertekan, ditodong, dan berada dalam kondisi “keterkepungan” yang memang sudah direkayasa sebelumnya.
Di situlah sebenarnya “kelebihan” Soeharto dalam memanfaatkan setiap kesempatan yang menurutnya sangat berarti dalam proyek jangka panjang: membangun imperium otoritarianisme berkedok demokrasi. “Kesuksesan” Soeharto selama 32 tahun memimpin negeri ini diawali dengan pertumpahan darah yang berlangsung pada 1 Oktober 1965 - 11 Maret 1966. Melalui kedua peristiwa yang dilalui dengan “mudah” itulah Soeharto menempatkan dirinya sebagai sosok pejuang. Ia membangun image sebagai pemberontak PKI, aktor utama di balik serangan umum 1 Maret 1949, dan lain sebagainya. Bahkan melalui media massa, Soeharto melakukan indoktrinasi massal untuk menunjukkan kegigihannya. Sehingga rakyat pun tanpa sadar menyebutnya sebagai “The Living Legend” atas peranannya dalam peristiwa-peristiwa penting.
Dr. Asvi Warman Adam dalam Seabad Kontroversi Sejarah (2007), mengatakan: “Kalau diperhatikan periode 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 tampak perkembangan peristiwa yang demikian cepat dan luar biasa. Soeharto adalah seorang ahli strategi yang handal. Tetapi ia bukan seorang grand master yang mampu menghitung 10-15 langkah ke depan di papan catur. Ia lebih banyak beruntung karena piawai memanfaatkan kesempatan. Bisa saja periode 6 bulan setelah peristiwa 1 Oktober 1965 itu disebut sebagai ”Kudeta Merangkak.” Tetapi ini adalah sebah drama tanpa sutradara dan skenario yang ketat. Soeharto bukan dalang melainkan pemain yang mampu berimprovisasi.
Demikianlah menurut penilaian Dr. Asvi Warman Adam. Soeharto sebenarnya lebih banyak tertolong oleh keberuntungan dan keberuntungan. Namun sayang, keberuntungan ternyata tidak selamanya datang dan berpihak. Kasus penyalahgunaan Supersemar akhirnya terbongkar seiring runtuhnya Soeharto dengan Orde Barunya. Soeharto kesusahan mencari perlindungan karena tidak mungkin mengelak dari fakta sejarah yang sesungguhnya.
Terlepas benar atau tidaknya,yang jelas sampai saat ini pengusutan terhadap kasus tersebut kurang menunjukkan keseriusan. :t
Tidak ada komentar:
Posting Komentar